Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Help file produced by WebTwin (www.webtwin.com) HTML->WinHelp converter. This text does not appear in the registered version.
Al-Quran yang secara harfiah berarti "bacaan sempurna "merupakan
suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada satu bacaan
pun sejak manusia mengenal tulisbaca lima ribu tahun yang lalu yang
dapat menandingi Al-Quran Al-Karim, bacaan sempurna lagi mulia itu.
Tiada bacaan semacam Al-Quran yang dibaca oleh ratusan juta orang
yang tidak mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan
aksaranya. Bahkan dihafal huruf demi huruf oleh orang dewasa, remaja,
dan anak-anak.
Tiada bacaan melebihi Al-Quran dalam perhatian yang diperolehnya,
bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari
segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta
waktu-waktu turunnya.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang dipelajari bukan hanya susunan
redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungannya yang
tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya.
Semua dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi.
Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu,
berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan
mereka, namun semua mengandung kebenaran.
Al-Quran layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang
berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.
Tiada bacaan seperti Al-Quran yang diatur tata cara membacanya, mana
yang dipendekkan, dipanjangkan, dipertebal atau diperhalus ucapannya,
di mana tempat yang terlarang, atau boleh, atau harus memulai dan
berhenti, bahkan diatur lagu dan iramanya, sampai kepada etika
membacanya.
Tiada bacaan sebanyak kosakata Al-Quran yang berjumlah 77.439 (tujuh
puluh tujuh ribu empat ratus tiga puluh sembilan) kata, dengan jumlah
huruf 323.015 (tiga ratus dua puluh tiga ribu lima belas) huruf yang
seimbang jumlah kata-katanya, baik antara kata dengan padanannya,
maupun kata dengan lawan kata dan dampaknya.
Sebagai contoh -sekali lagi sebagai contoh- kata hayat terulang
sebanyak antonimnya maut, masing-masing 145 kali; akhirat terulang
115 kali sebanyak kata dunia; malaikat terulang 88 kali sebanyak kata
setan; thuma'ninah (ketenangan) terulang 13 kali sebanyak kata dhijg
(kecemasan); panas terulang 4 kali sebanyak kata dingin.
Kata infaq terulang sebanyak kata yang menunjuk dampaknya yaitu ridha
(kepuasan) masing-masing 73 kali; kikir sama dengan akibatnya yaitu
penyesalan masing-masing 12 kali; zakat sama dengan berkat yakni
kebajikan melimpah, masing-masing 32 kali. Masih amat banyak
keseimbangan lainnya, seperti kata yaum (hari) terulang sebanyak 365,
sejumlah hari-hari dalam setahun, kata syahr (bulan) terulang 12 kali
juga sejumlah bulan-bulan dalam setahun.
"Allah menurunkan kitab Al-Quran dengan penuh kebenaran dan
keseimbangan (QS Al-Syura [42]: 17)."
Adakah suatu bacaan ciptaan makhluk seperti itu? Al-Quran menantang:
"Katakanlah, Seandainya manusia dan jin berkumpul untuk menyusun
semacam Al-Quran ini, mereka tidak akan berhasil menyusun semacamnya
walaupun mereka bekerja sama" (QS Al-Isra,[17]: 88).
Orientalis H.A.R. Gibb pernah menulis bahwa: "Tidak ada seorang pun
dalam seribu lima ratus tahun ini telah memainkan 'alat' bernada
nyaring yang demikian mampu dan berani, dan demikian luas getaran
jiwa yang diakibatkannya, seperti yang dibaca Muhammad (Al-Quran)."
Demikian terpadu dalam Al-Quran keindahan bahasa, ketelitian, dan
keseimbangannya, dengan kedalaman makna, kekayaan dan kebenarannya,
serta kemudahan pemahaman dan kehebatan kesan yang ditimbulkannya.
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, Dia telah
menciptakan manusia dari 'alaq. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling
Pemurah, Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan kepada
manusia apa yang belum diketahuinya" (QS Al-'Alaq [96]: 1-5).
Mengapa iqra, merupakan perintah pertama yang ditujukan kepada Nabi,
padahal beliau seorang ummi (yang tidak pandai membaca dan menulis)?
Mengapa demikian?
Iqra' terambil dari akar kata yang berarti "menghimpun," sehingga
tidak selalu harus diartikan "membaca teks tertulis dengan aksara
tertentu."
Dari "menghimpun" lahir aneka ragam makna, seperti menyampaikan,
menelaah, mendalami, meneliti mengetahui ciri sesuatu dan membaca,
baik teks tertulis maupun tidak.
Iqra' (Bacalah)! Tetapi apa yang harus dibaca? "Ma aqra'?" tanya Nabi
-dalam suatu riwayat- setelah beliau kepayahan dirangkul dan
diperintah membaca oleh malaikat Jibril a.s.
Pertanyaan itu tidak dijawab, karena Allah menghendaki agar beliau
dan umatnya membaca apa saja, selama bacaan tersebut Bismi Rabbik;
dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan.
Iqra' berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri
sesuatu, bacalah alam, bacalah tanda-tanda zaman, sejarah, diri
sendiri, yang tertulis dan tidak tertulis.
Alhasil objek perintah iqra' mencakup segala sesuatu yang dapat
dijangkaunya.
Demikian terpadu dalam perintah ini segala macam cara yang dapat
ditempuh manusia untuk meningkatkan kemampuannya.
Pengulangan perintah membaca dalam wahyu pertama ini, bukan sekadar
menunjukkan bahwa kecakapan membaca tidak diperoleh kecuali
mengulang-ulangi bacaan, atau membaca hendaknya dilakukan sampai
mencapai batas maksimal kemampuan, tetapi juga untuk mengisyaratkan
bahwa mengulang-ulangi bacaan Bismi Rabbika (demi karena Allah) akan
menghasilkan pengetahuan dan wawasan baru walaupun yang dibaca
itu-itu juga.
Mengulang-ulang membaca ayat Al-Quran menimbulkan penafsiran baru,
pengembangan gagasan, dan menambah kesucian jiwa serta kesejahteraan
batin. Berulang-ulang "membaca" alam raya, membuka tabir rahasianya
dan memperluas wawasan serta menambah kesejahteraan lahir. Ayat
Al-Quran yang kita baca dewasa ini tak sedikit pun berbeda dengan
ayat Al-Quran yang dibaca Rasul dan generasi terdahulu. Alam raya pun
demikian, namun pemahaman, penemuan rahasianya, serta limpahan
kesejahteraan-Nya terus berkembang, dan itulah pesan yang dikandung
dalam Iqra' wa Rabbukal akram (Bacalah dan Tuhanmulah yang paling
Pemurah). Atas kemurahan-Nyalah kesejahteraan demi kesejahteraan
tercapai.
Sungguh, perintah membaca merupakan sesuatu yang paling berharga yang
pernah dan dapat diberikan kepada umat manusia. "Membaca" dalam aneka
maknanya adalah syarat pertama dan utama pengembangan ilmu dan
teknologi, serta syarat utama membangun peradaban. Semua peradaban
yang berhasil bertahan lama, justru dimulai dari satu kitab (bacaan).
Peradaban Yunani di mulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9
sebelum Masehi. Ia berakhir dengan hadirnya Kitab Perjanjian Baru.
Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton (1641-1727) dan berakhir
dengan filsafat Hegel (1770-1831).
Peradaban Islam lahir dengan kehadiran Al-Quran. Astaghfirullah
menunjuk masa akhirnya, karena kita yakin bahwa ia tidak akan lekang
oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan, selama umatnya ikut bersama
Allah memeliharanya
"Sesungguhnya Kami (Allah bersama Jibril yang diperintahNya)
menurunkan Al-Quran, dan Kami (yakni Allah dengan keterlibatan
manusia) yang memeliharanya" (QS Al-Hijr [15]: 9).
Pengetahuan dan peradaban yang dirancang oleh Al-Quran adalah
pengetahuan terpadu yang melibatkan akal dan kalbu dalam
perolehannya. Wahyu pertama Al-Quran menjelaskan dua cara perolehan
dan pengembangan ilmu. Berikut keterangannya.
Setiap pengetahuan memiliki subjek dan objek. Secara umum subjek
dituntut berperan guna memahami objek. Namun pengalaman ilmiah
menunjukkan bahwa objek terkadang memperkenalkan dirinya kepada
subjek tanpa usaha sang subjek.
Komet Halley, memasuki cakrawala, hanya sejenak setiap 76 tahun.
Dalam kasus ini, walaupun para astronom menyiapkan diri dan
alat-alatnya untuk mengamati dan mengenalnya, tetapi sesungguhnya
yang lebih berperan adalah kehadiran komet itu sendiri untuk
memperkenalkan diri.
Wahyu, ilham, intuisi, atau firasat yang diperoleh manusia yang siap
dan suci jiwanya atau apa yang diduga sebagai "kebetulan" yang
dialami oleh ilmuwan yang tekun, kesemuanya tidak lain kecuali
bentuk-bentuk pengajaran Allah yang dapat dianalogikan dengan kasus
komet di atas. Itulah pengajaran tanpa qalam yang ditegaskan wahyu
pertama ini.
"Allah mengajar dengan pena (apa yang telah diketahui manusia
sebelumnya), dan mengajar manusia (tanpa pena) apa yang belum ia
ketahui" (QS Al-'Alaq [96]: 4-5)
Sekali lagi terlihat betapa Al-Quran sejak dini memadukan usaha dan
pertolongan Allah, akal dan kalbu, pikir dan zikir, iman dan ilmu.
Akal tanpa kalbu menjadikan manusia seperti robot, pikir tanpa zikir
menjadikan manusia seperti setan. Iman tanpa ilmu sama dengan pelita
di tangan bayi, sedangkan ilmu tanpa iman bagaikan pelita di tangan
pencuri.
Al-Quran sebagai kitab terpadu, menghadapi, dan memperlakukan peserta
didiknya dengan memperhatikan keseluruhan unsur manusiawi, jiwa,
akal, dan jasmaninya.
Ketika Musa a.s. menerima wahyu Ilahi, yang menjadikan beliau
tenggelam dalam situasi spiritual, Allah menyentaknya dengan
pertanyaan yang berkaitan dengan kondisi material :
"Apakah itu yang di tangan kananmu, hai Musa?" (QS Thaha [20]: 17).
Musa sadar sambil menjawab,
"Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya dan memukul (daun)
dengannya untuk kambingku, disamping keperluan-keperluan lain" (QS
Thaha [20]: 18).
Di sisi lain, agar peserta didiknya tidak larut dalam alam material,
Al-Quran menggunakan benda-benda alam, sebagai tali penghubung untuk
mengingatkan manusia akan kehadiran Allah Swt. dan bahwa segala
sesuatu yang teriadi 96sekecil apa pun- adalah di bawah kekuasaan,
pengetahuan, dan pengaturan Tuhan Yang Mahakuasa.
"Tidak sehelai daun pun yang gugur kecuali Dia mengetahuinya, dan
tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, tidak juga sesuatu
yang basah atau kering kecuali tertulis dalam Kitab yang nyata (dalam
jangkauan pengetahuannya)" (QS Al-An'am [6]: 59).
"Bukan kamu yang melempar ketika kau melempar, tetapi Allah-lah (yang
menganugerahkan kemampuan sehingga) kamu mampu melempar" (QS Al-Anfal
[8]: 17).
Sungguh, ayat-ayat Al-Quran merupakan serat yang membentuk tenunan
kehidupan Muslim, serta benang yang menjadi rajutan jiwanya. Karena
itu seringkali pada saat Al-Quran berbicara tentang satu persoalan
menyangkut satu dimensi atau aspek tertentu, tiba-tiba ayat lain
muncul berbicara tentang aspek atau dimensi lain yang secara sepintas
terkesan tidak saling berkaitan. Tetapi bagi orang yang tekun
mempelajarinya akan menemukan keserasian hubungan yang amat
mengagumkan, sama dengan keserasian hubungan yang memadukan gejolak
dan bisikan-bisikan hati manusia, sehingga pada akhirnya dimensi atau
aspek yang tadinya terkesan kacau, menjadi terangkai dan terpadu
indah, bagai kalung mutiara yang tidak diketahui di mana ujung
pangkalnya.
Salah satu tujuan Al-Quran memilih sistematika demikian, adalah untuk
mengingatkan manusia -khususnya kaum Muslimin- bahwa ajaran-ajaran
Al-Quran adalah satu kesatuan terpadu yang tidak dapat
dipisah-pisahkan.
Keharaman makanan tertentu seperti babi, ancaman terhadap yang enggan
menyebarluaskan pengetahuan, anjuran bersedekah, kewajiban menegakkan
hukum, wasiat sebelum mati, kewajiban puasa, hubungan suami-istri,
dikemukakan Al-Quran secara berurut dalam belasan ayat surat
Al-Baqarah. Mengapa demikian? Mengapa terkesan acak? Jawabannya
antara lain adalah, "Al-Quran menghendaki agar umatnya melaksanakan
ajarannya secara terpadu." Tidakkah babi lebih dianjurkan untuk
dihindari daripada keengganan menyebarluaskan ilmu Bersedekah tidak
pula lebih penting daripada menegakkan hukum dan keadilan. Wasiat
sebelum mati dan menunaikannya tidak kalah dari berpuasa di bulan
Ramadhan. Puasa dan ibadah lainnya tidak boleh menjadikan seseorang
lupa pada kebutuhan jasmaniahnya, walaupun itu adalah hubungan seks
antara suami-istri. Demikian terlihat keterpaduan ajaran-ajarannya.
Al-Quran menempuh berbagai cara guna mengantar manusia kepada
kesempurnaan kemanusiaannya antara lain dengan mengemukakan kisah
faktual atau simbolik. Kitab Suci Al-Quran tidak segan mengisahkan
"kelemahan manusiawi," namun itu digambarkannya dengan kalimat indah
lagi sopan tanpa mengundang tepuk tangan, atau membangkitkan potensi
negatif, tetapi untuk menggarisbawahi akibat buruk kelemahan itu,
atau menggambarkan saat kesadaran manusia menghadapi godaan nafsu dan
setan.
Ketika Qarun yang kaya raya memamerkan kekayaannya dan merasa bahwa
kekayaannya itu adalah hasil pengetahuan dan jerih payahnya, dan
setelah enggan berkali-kali mendengar nasihat, terjadilah bencana
longsor sehingga seperti bunyi firman Allah:
"Maka Kami benamkan dia dan hartanya ke dalam bumi" (QS Al-Qashash
[28]: 81).
Dan berkatalah orang-orang yang kemarin mendambakan kedudukan Qarun,
"Aduhai, benarlah Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia
kehendaki dari hamba-hamba-Nya dan mempersempitkannya. Kalau Allah
tidak melimpahkan karuniaNya atas kita, niscaya kita pun
dibenamkannya. Aduhai benarlah tidak beruntung orang-orang yang kikir
(QS Al-Qashash [28]: 82).
Dalam konteks menggambarkan kelemahan manusia, Al-Quran, bahkan
mengemukakan situasi, langkah konkret dan kalimat-kalimat rayuan
seorang wanita bersuami yang dimabuk cinta oleh kegagahan seorang
pemuda yang tinggal di rumahnya,
Maksudnya,
"(Setelah berulang-ulang kali merayu dengan berbagai cara
terselubung). Ditutupnya semua pintu dengan amat rapat, seraya
berkata (sambil menyerahkan dirinya kepada kekasihnya-setelah
berdandan), "Ayolah kemari lakukan itu!" (QS Yusuf [12]: 23).
Demikian, tetapi itu sama sekali berbeda dengan ulah sementara
seniman, yang memancing nafsu dan merangsang berahi. Al-Quran
menggambarkannya sebagai satu kenyataan dalam diri manusia yang tidak
harus ditutup-tutupi tetapi tidak juga dibuka lebar, selebar apa yang
sering dipertontonkan, di layar lebar atau kaca.
Al-Quran kemudian menguraikan sikap dan jawaban Nabi Yusuf, anak muda
yang dirayu wanita itu, juga dengan tiga alasan penolakan, seimbang
dengan tiga cara rayuannya, Yang pertama dan kedua adalah,
"Aku berlindung kepada Allah, sesungguhnya suamimu adalah tuanku,
yang memperlakukan aku dengan baik" (QS Yusuf [12]: 23).
Yang ketiga, khawatir kedua alasan itu belum cukup.
"Dan sesungguhnya tidak pernah dapat berbahagia orang yang berlaku
aniaya" (QS Yusuf [12]: 23).
Dalam bidang pendidikan, Al-Quran menuntut bersatunya kata dengan
sikap. Karena itu, keteladanan para pendidik dan tokoh masyarakat
merupakan salah satu andalannya.
Pada saat Al-Quran mewajibkan anak menghormati orangtuanya, pada saat
itu pula ia mewajibkan orang-tua mendidik anak-anaknya. Pada saat
masyarakat diwajibkan menaati Rasul dan para pemimpin, pada saat yang
sama Rasul dan para pemimpin diperintahkan menunaikan amanah,
menyayangi yang dipimpin sambil bermusyawarah dengan mereka.
Demikian Al-Quran menuntut keterpaduan orang-tua, masyarakat, dan
pemerintah. Tidak mungkin keberhasilan dapat tercapai tanpa
keterpaduan itu. Tidak mungkin kita berhasil kalau beban pendidikan
hanya dipikul oleh satu pihak, atau hanya ditangani oleh guru dan
dosen tertentu, tanpa melibatkan seluruh unsur kependidikan.
Dua puluh dua tahun dua bulan dan dua puluh dua hari lamanya,
ayat-ayat Al-Quran silih berganti turun, dan selama itu pula Nabi
Muhammad Saw. dan para sahabatnya tekun mengajarkan Al-Quran, dan
membimbing umatnya. Sehingga, pada akhirnya, mereka berhasil
membangun masyarakat yang didalamnya terpadu ilmu dan iman, nur dan
hidayah, keadilan dan kemakmuran di bawah lindungan ridha dan ampunan
Ilahi.
Kita dapat bertanya mengapa 20 tahun lebih, baru selesai dan
berhasil? Boleh jadi jawabannya dapat kita simak dari hasil
penelitian seorang guru besar Harvard University, yang dilakukannya
pada 40 negara, untuk mengetahui faktor kemajuan atau kemunduran
negara-negara itu.
Salah satu faktor utamanya -menurut sang Guru Besar- adalah materi
bacaan dan sajian yang disuguhkan khususnya kepada generasi muda.
Ditemukannya bahwa dua puluh tahun menjelang kemajuan atau kemunduran
negara-negara yang ditelitinya itu, para generasi muda dibekali
dengan sajian dan bacaan tertentu. Setelah dua puluh tahun generasi
muda itu berperan dalam berbagai aktivitas, peranan yang pada
hakikatnya diarahkan oleh kandungan bacaan dan sajian yang disuguhkan
itu. Demikian dampak bacaan, terlihat setelah berlalu dua puluh
tahun, sama dengan lama turunnya Al-Quran.
Kalau demikian, jangan menunggu dampak bacaan terhadap anak-anak kita
kecuali 20 tahun kemudian. Siapa pun boleh optimis atau pesimis,
tergantung dari penilaian tentang bacaan dan sajian itu. Namun kalau
melihat kegairahan anak-anak dan remaja membaca Al-Quran, serta
kegairahan umat mempelajari kandungannya, maka kita wajar optimis,
karena kita sepenuhnya yakin bahwa keberhasilan Rasul dan generasi
terdahulu dalam membangun peradaban Islam yang jaya selama sekitar
delapan ratus tahun, adalah karena Al-Quran yang mereka baca dan
hayati mendorong pengembangan ilmu dan teknologi, serta kecerahan
pikiran dan kesucian hati.
Kita wajar optimis, melihat kesungguhan pemerintah menangani
pendidikan, serta tekadnya mencanangkan wajib belajar.
Ayat "wa tawashauw bil haq" dalam QS Al-'Ashr [103]: 3 bukan saja
mencanangkan "wajib belajar" tetapi juga "wajib mengajar." Bukankah
tawashauw berarti saling berpesan, saling mengajar, sedang al-haq
atau kebenaran adalah hasil pencarian ilmu? Mencari kebaikan
menghasilkan akhlak, mencari keindahan menghasilkan seni, dan mencari
kebenaran menghasilkan ilmu. Ketiga unsur itulah yang menghasilkan
sekaligus mewarnai suatu peradaban.
Al-Quran yang sering kita peringati nuzulnya ini bertujuan antara
lain:
* Untuk membersihkan akal dan menyucikan jiwa dari segala bentuk
syirik serta memantapkan keyakinan tentang keesaan yang
sempurna bagi Tuhan seru sekalian alam, keyakinan yang tidak
semata-mata sebagai suatu konsep teologis, tetapi falsafah
hidup dan kehidupan umat manusia.
* Untuk mengajarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, yakni
bahwa umat manusia merupakan suatu umat yang seharusnya dapat
bekerja sama dalam pengabdian kepada Allah dan pelaksanaan
tugas kekhalifahan.
* Untuk menciptakan persatuan dan kesatuan, bukan saja antar suku
atau bangsa, tetapi kesatuan alam semesta, kesatuan kehidupan
dunia dan akhirat, natural dan supranatural, kesatuan ilmu,
iman, dan rasio, kesatuan kebenaran, kesatuan kepribadian
manusia, kesatuan kemerdekaan dan determinisme, kesatuan
sosial, politik dan ekonomi, dan kesemuanya berada di bawah
satu keesaan, yaitu Keesaan Allah Swt.
* Untuk mengajak manusia berpikir dan bekerja sama dalam bidang
kehidupan bermasyarakat dan bernegara melalui musyawarah dan
mufakat yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.
* Untuk membasmi kemiskinan material dan spiritual, kebodohan,
penyakit, dan penderitaan hidup, serta pemerasan manusia atas
manusia, dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan juga agama.
* Untuk memadukan kebenaran dan keadilan dengan rahmat dan kasih
sayang, dengan menjadikan keadilan sosial sebagai landasan
pokok kehidupan masyarakat manusia
* Untuk memberi jalan tengah antara falsafah monopoli kapitalisme
dengan falsafah kolektif komunisme, menciptakan ummatan
wasathan yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemunkaran.
* Untuk menekankan peranan ilmu dan teknologi, guna menciptakan
satu peradaban yang sejalan dengan jati diri manusia, dengan
panduan dan paduan Nur Ilahi.
Demikian sebagian tujuan kehadiran Al-Quran, tujuan yang tepadu dan
menyeluruh, bukan sekadar mewajibkan pendekatan religius yang
bersifat ritual atau mistik, yang dapat menimbulkan formalitas dan
kegersangan.
Al-Quran adalah petunjuk-Nya yang bila dipelajari akan membantu kita
menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman bagi penyelesaian
berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan
menjadikan pikiran, rasa, dan karsa kita mengarah kepada realitas
keimanan yang dibutuhkan bagi stabilitas dan ketenteraman hidup
pribadi dan masyarakat.
Itulah Al-Quran dengan gaya bahasanya yang merangsang akal dan
menyentuh rasa, dapat menggugah kita menerima dan memberi kasih dan
keharuan cinta, sehingga dapat mengarahkan kita untuk memberi
sebagian dari apa yang kita miliki untuk kepentingan dan kemaslahatan
umat manusia. Itulah Al-Quran yang ajarannya telah merupakan kekayaan
spiritual bangsa kita, dan yang telah tumbuh subur dalam negara kita.
Help file produced by WebTwin (www.webtwin.com) HTML->WinHelp converter. This text does not appear in the registered version.
0 comments:
Post a Comment