Friday, 29 July 2016

Ceritanya hari ini saya sedang mengulang “Lughat Isim” itu tuh, kumpulan mufradat berbahasa arab ditranslit ke dalam bahasa Sunda. Saya tidak tahu kenapa dinamai Lughat Isim, bila dalam bahasa Indonesia padanannya berarti “bahasa kata benda. Anak-anak MD pasti tahu, Cung yang tahu!

Baru saya sadari, kosa kata yang disajikan di dalamnya cukup bervariasi, penyampaian disampaikan perbab dan kosa kata dikumpulkan dalam satu rumpun benda, misalnya: mufradat yang berkaitan dengan rumah, maka digabungkan dalam satu pasal. Ini dia pasal yang paling diingat: “Pasal ka hiji nerangkeun barang anu aya di Imah”. Tau apa artinya? Coba ditranslit sendirin ya...

Lanjut cerita, saya sudah sampai pada bab mengenai keadaan di sekolah, saya cukup kesulitan dengan arti bahasa Sundanya. Pertama, karena cetakan bukunya yang kurang jelas, seingat saya buku ini dibeli ketika di SMA, kurang tahu apakah ada cetakan terbaru dengan tulisan yang lebih jelas, ataukah dari dulu sampai sekarang seperti itu. Kedua, bahasa Sunda yang sudah pasti bahasa terdahulu, dengan beberapa kosa kata yang saya sendiri belum paham seperti: Sabak, kata ini saya temukan di pasal bersangkutan. Ada pula beberapa kata lain, di pasal berbeda yang belum bisa dipahami. Ketiga, arti bahasa Sundanya ditulis dalam tulisan melayu atau Arab pegon, sehingga perlu dua kali melihat. Kadang karena tulisannya yang sudah buram, saya mengulangi bacaannya sebanyak tiga kali untuk menemukan, tulisan apakah ini.

Jelasnya saya sampai pada kata “Mufattisyun” yang berarti Penilik. Tepat sekali pengarang buku ini memasukkan kata Mufattisyun dalam bab yang berkaitan dengan sekolah.
Penilik, kata yang unik, kata ini muncul ditujukan pada orang yang datang setiap beberapa tahun sekali, tepatnya saya lupa. Tujuannya untuk mengecek perkembangan sekolah. Istilah sekarang seperti seorang pengawas untuk melakukan Akreditasi sekolah. Mengapa unik? Karena Penilik mengingatkan saya pada masa Madrasah Diniyyah, ceritanya sekolah MD saya sudah lama berdiri, tapi baru ketika saya kelas enam, mulailah terakreditasi. Tahun itu sekolah MD dengan jumlah murid yang masih bisa dihitung jari, mulailah membeludak. Alhasil, kelas semakin ditata, tahu apa keputusannya: saya kelas enam, sedang disekolah formal MI kelas lima. Akhirnya harus rela untuk turun kelas lima, dan berpisah dengan kelas enam.

Penilik mengingatkan saya, bagaimana dahulu kami bermain dengan senang dan bagaiman cerita permainan itu berakhir. Kami murid MD yang saat itu masih bisa dihitung jari téa, sebelum para Penilik itu datang bisa bermain puas, masuk kelas kadang kurang teratur, kadang sebagian besar belajar kami adalah bermain, tidak heran kami tidak asing lagi dengan galah, bébénténgan dan lain-lain. Malah HP adalah barang asing, asiing sekali untuk kami, sehingga datangnya penilik adalah akhir dari permainan kesewenang-wenangan kami hahaa :). Kelas mulai teratur, jadwal masuk dan pulang mulai ada. Bel sudah terpasang, mendengarnya berbunyi adalah waktunya kami berlari ke kelas dan memasrahkan permainan yang sebentar lagi akan kami menangkan serta tidak lupa Penilik mengenalkan kami dengan Absensi. Absensi, sekali lagi Daftar hadir.

Akan tetapi, penilik adalah awal dari kebangkitan sekolah kami. Saya menyadari setelah sekolah terakreditasi, madrasah telah terpandang memiliki standar seperti layaknya sekolah lain, sehingga jumlah murid meningkat, guru-guru kami yang sebelumnya digaji seadanya mulai mendapatkan upah yang layak. “Samen” istilah haflah imtiham mulai meriah dan terpenting, fasilitas penunjang belajar mulai terpenuhi.

Ruang kelas mulai rapi, bangku dan bor (papan tulis) jadi lebih bagus, jendela bolong-bolong jadi terpasang kaca. Padahal itu tempat kami meloncat pulang dan orang mulai gemar untuk menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah untuk belajar agama islam.

Akhirnya, kata penilik itu sendiri mengingatkan saya bahwa membangun kemajuan masyarakat, selalu dimulai dari pendidikan. Mencerdaskan bangsa dimulai dengan mengubah pola pikirnya melalui pendidikan. Bagaimana perhatian negara ini untuk pendidikan dan saya semakin senang ketika orang berduyun-duyun mendaftarkan putra-putrinya untuk belajar al-Qur’an.

Jadi, sebenarnya saya berharap: Lughat isim ada cetakan bahasa Indonesianya, pemerintah semakin perhatian pada pendidikan agama islam dan orang gemar terhadap ilmu pengetahuan.  

Sekian,
Antonafiz Qaris

0 comments:

Post a Comment